Awalnya aku tak tahu dan tak pernah mau mengerti apa arti dari sesuatu yang disebut “cinta”. Dan mungkin jika saja ada ujian yang mempertanyakan tentang cinta, aku tak akan dapat menjawabnya. Lebih baik aku ikut lomba lari 1000 meter daripada harus menjawab pertanyaan yang tak begitu penting itu, menurutku.
Mungkin aku begitu polos, sampai-sampai aku tak pernah mau memulai satu langkah untuk mendekati sesuatu yang bernama cinta ini, dan aku juga tak mau membuka fikiranku untuk mulai menjelajahi serta menerka-nerka apa pengertian dari sang cinta, mengapa cinta bisa ada di dunia ini, bagaimana wujud cinta sebenarnya, apa penyebab timbulnya cinta, dan bla...bla...bla... Aku tak mau memikirkan tentang itu semua, karena aku yakin dan masih sehati dengan pemikiranku, yaitu “cinta itu ribet dan hanya membuat pusing !!!!”. Itulah alasan mengapa aku tak mau berkutat dan ambil pusing dengan si cinta ini. Toh, aku masih bisa hidup dengan tenang, aku masih bisa bernafas lega, dan aku juga masih bisa menikmati hidupku tanpa si cinta, meskipun aku tak mengetahui apa yang dimaksud dengan sesuatu yang seringkali orang-orang lambangkan dengan “pacaran” ini.
Hah ???? PACARAN !!!!!..
Makhluk darimana lagi ini.. aku sering mendengarnya memang, namun seperti halnya cinta, aku tak mau membebani fikiranku dengan si makhluk aneh ini. Lebih baik, aku tetap menjalani hidupku tanpa cinta, apalagi pacaran. OH NO !!!
Tapi.. semua pemikiran-pemikiranku tentang “cinta” seolah hilang, benar-benar hilang. Semuanya berganti dengan yang baru. Dan pemikiran baru tersebut telah berhasil menyihirku serta mengubur semua pernyataan yang dulunya aku tak tau berasal darimana –yang sangat menyudutkan si cinta-. Hal itu berawal ketika seorang Guru Agama tempat aku mengais butir-butir ilmu. Beliau menjelaskan tentang pertanyaan-pertanyaan yang dulunya hanya berhasil tersangkut di tenggorokkanku, namun sangat menyesakkan dadaku. Yah, jawaban itu datang tanpa harus aku menanyakannya. Mataku telah terbuka dengan penjelasan Sang Guru. Baru aku tahu bahwa cinta itu indah dan diciptakan dari Sang Maha Indah. Cinta itu suci dari Sang Maha Suci. Subhanallah...sungguh amat sangat mengagumkan pengertian dari cinta ini, dan begitu awamnya diriku akan segala hal tentang cinta. Aku berjanji dalam hatiku bahwa aku akan senantiasa menghargai dan menjaga kesucian cinta yang telah dianugerahkan oleh Sang Penguasa Cinta.
Hingga pada suatu hari, dimana aku sedang bergelut dengan pekerjaanku -menulis-, tiba-tiba pintu rumah kami diketok oleh seseorang yang ada di baliknya. Aku jelas tak tahu siapa. Setelah pintu dibuka, terdengar celotehan-celotehan kecil dari balik dinding kamarku yang kebetulan berada di sebelah ruang tamu. Sepertinya ramai, pikirku. Namun, aku tak menghiraukan suara-suara yang tak dapat aku dengar seutuhnya itu. Aku tetap saja melanjutkan tulisanku yang hanya beberapa baris lagi selesai. Di tengah keasyikkan duniaku, seorang wanita paruh baya yang selalu aku panggil dengan sebutan “ummi” mengetok pintu kamarku sembari masuk ke dalam kamarku ini. Aku segera meninggalkan duniaku begitu saja lantas menatap ummi. Beliau memintaku untuk menemui sang tamu yang aku tak tahu siapakah gerangannya. Tanpa fikir panjang, aku langsung mengganti jilbabku dan mengenakan hijabku yang lainnya. Aku menutup bukuku sebelum akhirnya meninggalkan duniaku yang sudah lama aku geluti itu.
Aku merasa jantungku berdegup lebih kencang dari biasanya seketika aku sampai di pintu depan, dan aku langsung saja duduk di samping ummi. Bagai diguyur hujan es yang amat dingin, saat aku melihat tiga orang tamu yang datang pada malam itu. Seorang lelaki dan wanita sebaya dengan abah dan ummi, serta seorang pemuda yang tak lain dan tak bukan adalah........ Fikri, teman madrasah ‘aliyahku –setara dengan Sekolah Menengah Atas-. Masyaallah !!! gumamku dalam hati. Aku sangat terkejut melihat teman seperjuanganku dulu yang bernotabene tak terlalu aku kenal dekat, kini berada hanya beberapa langkah dari tempat dudukku. Namun, langsung aku tundukkan kepalaku ke lantai, sebelum ia menangkap tatapan mataku. Ribuan pertanyaan mulai menari-nari di alam fikiranku. Namun aku mampu menapiknya segera.
Muhammad Fikri, begitulah nama lengkapnya. Kami memang tak terlalu dekat. Bahkan, untuk saling menegur sapa saja jarang. Tepatnya sangat jarang. Hal itu yang membuatku terkejut setengah hidup saat mendapatinya kini berada di rumahku, bersama dengan kedua orang tuanya. Rabbi, apa yang sebenarnya akan terjadi. Mengapa ia berani datang ke sini, setelah sekian lama aku tak pernah mendengar kabarnya. Allahu a’lam. Semoga semuanya akan baik-baik saja. Batinku.
Abah terus saja berbincang-bincang dengan kedua orang tua temanku itu, tanpa sedikitpun mengetahui apa yang sedang terjadi di dalam batinku. Hingga pada waktu, dimana abah menanyakan sesuatu padaku. “Bagaimana Nisa, kamu mau menerima khitbahan dari nak Fikri ??”. spontan, aku terkejut dan langsung menatap ke arah abah. Namun aku langsung menunduk lagi, karena aku tahu bahwa yang aku lakukan tadi tak diperbolehkan oleh Islam. Aku tetap diam. Tak berani mengucapkan sepatah katapun. Fikiranku semakin merajut tali yang membuatku semakin tak dapat berfikir tenang. Namun, aku takut kalau mereka mengartikan kediamanku ini sebagai tanda setuju. Maka dari itu, aku memberanikan diri untuk menyatakan argumenku. Perlahan aku mulai angkat suara dan mengutarakan apa yang aku rasakan tanpa sedikitpun mengurangi rasa hormat terhadap abah terlebih lagi kepada kedua orang tua Fikri.
Aku membuka kembali memori tentang penjelasan guru agama -yang biasa aku panggil ustadz- tentang cinta. Dan yang dapat aku simpulkan adalah cinta itu suci, dan tak patut aku mengotorinya. Aku berfikir bahwa dengan menerima khitbahan ini, aku dan dia -Fikri- dapat lebih menjaga hijab kami masing-masing, serta dapat menahan kami untuk berbuat sesuatu yang sangat ditakutkan oleh Rasulullah dan terlebih lagi dilarang Allah SWT. Hingga akhirnya, aku yakin bahwa Allah-lah yang mengirimkan sosok cinta itu dengan jalan yang jauh lebih indah yang tak kebanyakan orang dapat dan mau melakukannya. Yah, di jalan ini -khitbah- aku lebih yakin bahwa Allah telah mempersiapkan sesuatu yang lebih indah untukku. Tanpa jalan yang tak disukai-Nya. Tanpa harus PACARAN. Begitu tekadku.
Tak lebih dari satu minggu, segalanya telah dipersiapkan untuk memeriahkan acara walimahan kami. Tak terlalu meriah sebenarnya. Karena aku tak suka dengan sesuatu yang berlebihan. Ditambah lagi, aku percaya dengan hadits Rasulullah bahwa pernikahan yang paling berkah adalah pernikahan yang paling sederhana dan paling sedikit biayanya. Yah, tak ada pelaminan, tak ada tradisi, dan tak ada campur baur antara ikhwan dan akhwat. Karena ternyata aku dan dia sama-sama memegang teguh kemurnian cinta, tanpa sedikitpun ingin mengotorinya.
Usai acara walimah, aku dan temanku itu –ups, maksudnya suamiku, yah...aku harus mulai belajar menggantinya- masuk ke dalam kamar. Kami memang terlihat lelah, namun kami ingin tetap mencicipi indahnya malam dimana ia telah dihalalkan untukku dan sebaliknya. Kami shalat dua raka’at terlebih dahulu sebeum akhirnya menikmati indahnya hasil dari penjagaan kesucian cinta ini. Atas nama Allah tentunya.
Aku sangat bersyukur karena Allah telah mengirimku seorang malaikat yang aku tak pernah menyangka bahwa dialah yang akan mendampingi hari-hariku selanjutnya. Yang menjadi Imam dalam hidupku, menjadi seorang Abi bagi anak-anakku kelak, dan dialah yang nantinya menjadi nahkoda dalam kehidupan rumah tangga kami. Namun, kebahagiaan itu tak berlangsung lama. Sehari setelah kami mengecup indahnya pacaran setelah pernikahan, aku harus merelakan suamiku dirawat di rumah sakit karena tanpa sepengetahanku, telah lama ia memendam sakit yang ada dalam tubuhnya. Aku tak menyangka ini semua terjadi begitu cepat. Bagiku, sehari saja rasanya tak pelak hanya seperti sedetik. Aku memang jatuh, namun aku tak mau terlalu menampakkannya di depan keluargaku, terlebih lagi di depan keluarga suamiku. Namun sungguh lirih rasanya melihat suamiku terbaring lemah tak berdaya. Rabbi, kuatkan hamba...
Aku senantiasa menjaga suamiku yang kini tengah berjuang untuk melawan penyakitnya itu. Aku tak tahu harus berbuat apa, yang aku tahu, Allah sedang merencanakan sesuatu yang lebih baik untukku dan untuk suamiku, aku menyerahkan semua pada-Nya. Karena aku yakin hanya Dialah sebaik-baik tempat kembali. Aku larut dalam kesedihan namun aku tak mau terlalu meratapi segala yang terjadi pada keluarga kami. Aku menggenggam tangan suamiku dan berharap ia dapat segera membuka matanya. Tak henti-hentinya lidahku berdzikir mengucap asma-Nya. Hingga akhirnya, subhanallah... Allah dengan cepat mengabulkan permohonanku. Ia membuka kedua matanya dan perlahan memanggil namaku. Aku tak dapat berkata apa-apa. Aku hanya menatapnya dengan tatapan penuh pengharapan. Ia membelai mahkotaku yang kututupi dengan jilbab, lantas mengecup keningku. Samar-samar aku mendengarnya mengucapkan sebaris kata, “uhibbuki ya Zaujatii. Ku tunggu kau di pintu Firdaus”. Ucapnya perlahan.
Aku tak mengerti mengapa ia mengatakan kata-kata itu. Yang aku tahu adalah, setelah itu ia langsung mengucapkan kalimat tauhid sebelum akhirnya ia menutup kembali matanya. Rabbi.... tetap genggam aku dalam tangan-Mu. Perlahan, aku melepaskan genggaman tangannya sembari berkata “uhibbuka fillah ya zaujii”. Sekali lagi aku meneteskan air mataku dan segera berpaling meninggalkan ruangan yang sempat menjadi saksi di detik-detik terakhir kepergian suamiku tercinta.
Namun aku tetap bahagia, karena aku yakin bahwa ia telah mendapatkan tempat yang terbaik di sisi-Nya, dan aku bahagia karena hingga ajal menjemputnya, ia masih tetap memurnikan cinta Ilahi yang sebelumnya telah ia ajarkan kepadaku.. syukron ya zaujii...
Aku yakin, inilah kekuatan cinta yang sebenarnya dari Sang Maha Cinta, yaitu Allah SWT..
... the power of true love...